CONTOH ARTIKEL MEDEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING



MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING (PENEMUAN)
ARTIKEL
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah model-model pembelajaran Bahasa dansastra Indonesia
Dosen : Neneng Sri wulan, M.Pd.

Di susun Oleh:
Kelompok 5/ 3A PGSD
Linda fitriani               (1306182)
Intan Mutiara Dewi    (1301136)
Yuli Andriyani            (1307099)
Ibrohim                       (1302030)
Rahmawati                  (1305959)
Anggun oktaviyani     (1305608)


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2016
ANALISIS MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING) PADA PEMBELAJARAN

ABSTRAK
Berdasarkan pengamatan peneliti mengenai pendidik dan calon pendidik, ditemukan bahwa banyak sekali pendidik dan calon pendidik yang masih belum memahami bahkan belum bisa membedakan mana yang disebut sebagai model pembelajaran atau bukan model pembelajaran. Terutama sejak diberlakukannya kurikulum 2013 banyak memperkenalkan model-model pembelajaran baru yang proses pembelajarannya berpusat pada siswa (student oriented) salah satunya yaitu discovery learning. Oleh sebab itu dalam artikel ini memaparkan hasil analisis terhadap karakteristik model pembelajaran pada discovery learning menurut Joyce dan Weil (1980 : 3) serta aplikasi discovery learning dalam pembelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan teknik studi pustaka dan peneliti sendirilah yang menjadi instrumen penelitiannya. Setelah peneliti melakukan analisis karakteristik model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (1980 : 3) mengenai discovery learning dapat disimpulkan hasilnya bahwa discovery learning merupakan sebuah model pembelajaran karena telah memenuhi karakteristik model-model pembelajaran yang ditentukan oleh Joyce dan Weil (1980 : 3).
Kata kunci : discovery learning, model pembelajaran.
ABSTRACT
Based on the observations of researchers regarding educators and prospective educators, it was found that a great many educators and prospective educators still do not understand can not even tell which is referred to as a model for learning or not. Especially since the implementation of the curriculum in 2013, it’s  introduce many new models of learning that a student-centered learning process (student oriented) one of which is discovery learning. Therefore, in this article describes the results of an analysis of the characteristics of the learning model on discovery learning by Joyce and Weil (1980: 3) and the application discovery learning. This study used a qualitative research approach to the engineering literature and the researcher herself who is the research instrument. Once the researchers analyzing the characteristics of the learning model according to Joyce and Weil (1980: 3) on discovery learning can be summed up the results that discovery learning is a learning model because it has met the characteristics of learning models specified by Joyce and Weil (1980: 3).
Keywords: Discovery learning, Learning model

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan pembelajaran yang mengembangkan tiga aspek penting yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Mengingat pentingnya Pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kehidupan manusia yang seutuhnya, maka dari itu dalam dunia pendidikan diperlukan usaha-usaha pendidik dan stakeholder untuk merancang pembelajaran agar menjadi lebih menarik dan dapat mencapai tujuan pendidikan.
Proses pembelajaran yang dilakukan guru di kelas pada umumnya hanya berpusat pada guru (teacher centered). Pada saat mengajar guru tidak menggunakan model pembelajaran yang inovatif, interaktif, dan menyenangkan. Hal tersebut membuat siswa tidak tertarik pada pembelajaran yang dilakukan. Sebaiknya, pembelajaran yang dilakukan menggunakan model pembelajaran yang inovatif, interaktif, dan menyenangkan, sehingga dapat menarik perhatian siswa dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran dapat melibatkan siswa secara aktif, tidak berpusat pada guru.
Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013 yang menuntut siswa untuk berpikir kritis, kreatif dan berwawasan ilmiah, maka diperlukan model pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan.Adanya tuntutan dalam kurikulum 2013 seperti itu banyak para pendidik yang kurang paham mengenai sebuah model pembelajaran dengan metode pembelajaran, sehingga banyak pendidik yang salah mengaplikasikan kedua istilah terebut dalam pembelajaran. Kesalahan pengaplikasian kedua istilah terebut dalam pembelajaran akan mempengaruhi proses pembelajaran sehingga akan mengganggu ketercapaian tujuan belajar. Dalam kurikulum 2013 lebih menekankan proses pembelajaran secara ilmiah dengan cara siswa dituntut untuk menjadi seperti seorang peneliti dengan metode-metode ilmiah seperti aktifitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Untuk menciptakan pembelajaran yang demikian dapat digunakan model yang tepat pula salah satunya model pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning) melalui kegiatan-kegiatan berbentuk tugas (project based learning) yang mencakup proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan.
Model pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning adalah model mengajar yang mengatur pengajaran sedemian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuannya, namun ditemukan sendiri (Cahyo, 2013:100). Dalam pembelajaran discovery (penemuan), kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dpat menemukan  konsep-konsep dan prinsip-prinsip, melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Discovery merupakan proses yang menjadikan siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses yang dimaksud antara lain : mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dengan teknik tersebut, siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan intruksi.
Penerapan model Discovery Learning terdiri dari 6 tahapan dalam proses pembelajaran yaitu Stimulation (stimulasi atau pemberian rangsangan), Problem statement (pernyataan atau identifikasi masalah), Data collection (pengumpulan data), Data processing (pengolahan data), Verification (pembuktian), Generalization (menarik kesimpulan). Dengan demikian pembelajaran yang selama ini dilakukan yang pada umumnya berpusat pada guru menjadi berpusat kepada siswa yang berbasis penemuan melalui 6 tahapan dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan model pembelajaran discovery learning, mengetahui analisis model pembelajaran discovery learning menurut Bruce Joice dan John Lie, untuk mengetahui bagaimana aplikasi model pembelajaran discovery learning dalam pembelajaran bahasa indonesia.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian menggunakan desain penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif digunakan untuk membangun fenomena yang ada dengan memberi gambaran secara eksplisit. Penelitian deskriptif dapat juga dipakai untuk mengukur frekuensi, contohnya, mengukur frekuensi munculnya bentuk sintaktik tertentu dalam ujaran bahasa kedua pada beberapa tahap pengembangan.
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu teknik study pustaka. Studi kepustakaan merupakan  suatu  teknik  pengumpulan  data  dengan menghimpun   dan   menganalisis   dokumen-dokumen,baik   dokumen   tertulis, gambar  maupun  elektronik. Study kepustakaan terbagi menjadi 2 yaitu: dokumen tertulis dan media elektronik. Yang termasuk kedalam dokumen tertulis yaitu seperti: buku, majalah, kamus, jurnal, artikel sedangkan yan termasuk kedalam media elektronik yaitu anime, drama dan internet.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang menganalisis model pembelajaran discovery learning berdasarkan karakteristik model-model pembelajaran yang telah dikemukakan oleh Bruce Joice dan John Lie.



PEMBAHASAN
A.    DISCOVERY LEARNING
Metode pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuannya, namun ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery (penemuan), kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dpat menemukan  konsep-konsep dan prinsip-prinsip, melalui roses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Metode discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Makanya, anak harus berperan aktif didalam belajar. Peran aktif anak belajar ini diterapkan melalui cara penemuan. Discovery yang dilaksanakan siswa dalam proses belajarnya diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip. Discovery merupakan proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.
Dengan teknik tersebut siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Dengan demikian, pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Metode discovery learning sebagai sebuah teori belajar dapat didefinisikan sebagai belajar yang trejadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan untuk mengorganisasi sendiri.
Sebagai sebuah model pembelajaran, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inquiry dan problem solving. Tidak ada  perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang di hadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. sedangkan pada inquiry masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan didalam masalah itu melalui proses penelitian. Sedangkan problem solving sendiri pada tahap ini berposisi sebagai pemberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.
a.       Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Menurut Bell (1978), beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut :
1)      Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
2)      Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (ekstrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
3)      Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunkan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
4)      Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.
5)      Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
6)      Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.
b.      Teori Kategorisasi dalam Metode Discovery Learning.
Metode discovery learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungknkan terjadinya generalisasi.Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang tampak dalam discovery, bahwa sebenarnya discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam artian relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi di antara objek-objek dan kejadian-kejadian (event).
Bruner dalam Budiningsih (2005) memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
1)         Nama.
2)         Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
3)         Karakteristik, baik yang pokok maupun yang tidak.
4)         Rentangan karakteristik.
5)         Kaidah.
Dalam sumber yang sama Bener menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan kegiatan mengkategorikan yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategorikan meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh objek (objek-objek atau peristwa-peristiwa) ke dalam kelas menggunakan dasar kriteria tertentu.Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya.Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk ktegori-kategori baru.Inilah kegiatan merupakan tindakan penemuan konsep.
Ada empat dasar untuk mendefinisikan perkataan yang menunjukan konsep yaitu berdasarkan :
1)      Sifat-sifat yang dapat diukur atau dapat diamati.
2)      Sinonim, antonim dan makna semantik lain.
3)      Hubungan-hubungan logis dan aksioma/definisi dari sudut ini tidak secara langsung menunjuk sifat-sifat tertentu.
4)      Manfaat atau gunanya.
c.       Lingkungan belajar dalam dalam metode discoveri learning
            Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Sebagaimana dikutip dari slameto (2003), untuk menunjang proses belajar, lingkungan perlu memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learning environment, yaitu lingkungan di mana siswa dapat melakukan ksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum di kenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah di ketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
            Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Hal ini sama dengan pendapat Bruner, bahwa manipulasi bahan pelajaran bertujauan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (mempresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembanganny. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lebih tepatnya menggambarkan lingkungan, yaitu : enactive, iconic, dan symbolic (budiningsih, 2005).
1)      Tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan  pengetahuan motorik, misalnya melalui giggitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
2)      Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gamabar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3)      Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Secara sederhana, teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau ke belakang di apapan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temanya bermain) ini fase enactive. Kemudian, pada fase oconic, ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic
Kelebihan Dan Kelemahan Metode Discovery Learning
a.      Kelebihan Metode Discovery Learning
Mnurut Brunner dalam Budiningsih (2005), pendekatan discovery mempunyai empat keuntungan, yaitu: kode-kode generik (general) memfasilitasi transfer dan retensi. Konsisten pula dengan hal ini ialah bahwa discovery memfasilitasi transfer dan memory (ingatan).tranferabilitas yang telah berkembang menampak dalam apa yang disebut oleh Bruner sebagai intellectual potency.
Dua keuntungan lainnya berkaitan dengan abilitas problem solving (pemecahan masalah) dan motivasi. Bruner menandaskab bahwa makin sering digunakan metode-metode discovery makin mebawa seorang pelajar untuk menguasai keterampilan dalam pemecahan masalah (problem solving) menurut terminolgy Bruner, pelajar menguasai heuristic of discovery.
Dalam artikel The Act Of Discovery, Bruber menyebutkan ada beberapa keuntungan jika suatu bahan dari suatu mata pelajaran disampaiakan dengan menerapkan pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada discovery learning, yaitu (Bruner, J. 1969):
1)      adanya suatu kenaikan dalam potensi intelektual.
2)      Ganjaran instrinsik lebih ditekankan dari pada ekstrinsik.
3)      Murid mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai metode discovery learning
4)      Murid lebih senang mengingat-ingat materi.
            Selain keuntungan yang dijelaskan Bruner tersebut, Ausubel&Robinson (1969) juga mengemukakan keuntungan-keuntungan dari penerapan metode discovery:
1)      Discovery mempunyai keuntungan dapat menstransmisikan suatu konten mata pelajaran pada tahap operasi-operasi konkret. Terwujudnya hal ini bila pelajar mempunyai segudang informasi sehingga ia dapat secara mudah menghubungkan konten baru yang disajikan dalam bentuk expository.
2)      Discovery dapat dipergunakan untuk mengetes meaning-fulness (keberartian) belajar. Tes yang dimaksudkan hendaklah mengandung pertanyaan kepada pelajar untuk menggenerasi hal-hal (misalnya konsep-konsep) untuk diaplikasikannya.
3)      Belajar discovery perlu dalam pemecahan problem jika diharapkan murid-murid mendemonstrasikan apakah mereka telah memahami metode-metode pemecahan problem yang telah mereka pelajari.
4)      Transfer dapat ditingkatkan bila generalisasi-generalisasi telah ditemukan oleh pelajarr darp pada bila diberikan kepadanya dalam bentuk final.
5)      Penggunaan discovery mungkin mempunyai efek-efek superior dalam menciptakan motivasi bagi pelajar. Hal ini dikarenakan belajar discovery sangat dihargai oleh masyarakat kontemporer.
b.      Kelemahan Metode Discovery Learning
            Materi Ausubel memberi beberapa kelebihan dalam model discovery, ia juga memberi beberapa kelemahan dari model ini. Menurutnya, pada kenyataanya setiap alternatif yang menjadi teori tersebut tak efektif baik waktu, biaya, dan keuntungan-keuntungan bagi pelajar. Sesungguhnya hanya sedikit sekolah-sekolah yang mengembangkan belajar discovery pada siswa. Hal ini karena bukan hanya membutuhkan waktu lama, melainkan siswa-siswa kurang memiliki kemampuan dalam mengikuti metode discovery yang justru membutuhkan penguasaan informasi yang lebih cepat, dan tidak diberikan dalam bentuk final.
B.     ANALISIS
Berdasarkan pemaparan mengenai rumusan model pembelajaran menurut Bruce Joice dan Marsha Weil, dan penjabaran mengenai model pembelajaran discovery learning yang telah dihimpun dari beberapa sumber. Maka model pembelajaran discovery learning memiliki konsep-konep sebagai berikut:
a.      Orientasi model
Model pembelajaran discovery based learning berorientasi pada siswa yang menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep. Prinsip belajar yang tampak jelas dari model pembelajaran ini adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final melainkan melalui proses yang aktif.
Model discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Maka dari itu anak harus berperan aktif didalam proses pembelajaran.
b.      Model mengajar
1.      Sintaksis
Model ini memiliki beberapa fase yaitu: (1).Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan); (2).Problem statement (pernyataan / identifikasi masalah); (3).Data collection (pengumpulan data); (4).Data processing (pengolahan data); (5).Verification (pembuktian); (6).Generalitation (menarik kesimpulan/generalisasi)
Model pembelajaran discovery learning ini menempuh enam strategi pembelajaran yaitu sebagai berikut:
·         Stimulation (stimulasi/pemberianrangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada periapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dengan demikian seorang guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
·         Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulation guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan, kemudian dengan bahan pelajaran salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
·         Data collection (pengumpulan data)
Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau eksplorasi, guru member kesempatan kepada para siswa untuk melakukan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Data dapat diperoleh melalui membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.
·         Data processing (pengolahan data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Pada tahap ini berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
·         Verification (pembuktian)
Pada tahap ini siswa dilakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan, dihubungkan dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terlebih dahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
·         Generalitation (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
2.      Sistem sosial
Model discovery ini lebih menekankan pada pembelajaran mandiri yaitu siswa, karena model discovery ini diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Maka, anak harus berperan aktif dalam pembelajaran. Peran aktif anak dalam belajar ini diterapkan melalui cara penemuan. Guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Namun pada tingkat sekolah dasar masih menggunakan model pembelajaran discovery terpimpin atau terbimbing.
3.      Prinsip-prinsip reaksi
Reaksi dari guru lebih dibutuhkan pada Fase kesatu, kedua, ketiga dan keempat.
Tugas guru pada fase kesatu adalah guru dapat memulai kegiatan poses belajar mengajar dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan kegiatan belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.Fase kedua adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis. Fase ketiga dan ke empat adalah guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.
4.      Sistem penunjang
Faktor penunjang yang secara tidak langsung  memberikan dampak positif bagi keberhasilan proses belajar dengan menggunakan model discovery ini adalah keterampilan guru dalam merekayasa masalah dan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, mencari informasi kemudian membentuk pemahaman sendiri.
c.       Penerapan
Model discovery learning tidak hanya sesuai bagi pelajaran-pelajaran eksakta seperti ilmu pengetahuan alam, mate-matika, fisika dll namun dapat dilaksanakan dan diterapkan pada semua mata pelajaran. Model ini juga dapat dilaksanakan pada semua tingkatan kelas dari sekolah dasar hingga tingkat yang yang lebih tinggi, namun untuk di sekolah dasar lebih dianjurkan untuk menggunakan model discovery terpimpin atau terbimbing oleh guru.

C.    APLIKASI
Jika ingin mengaplikasikan model belajar discovery learning ini, setidaknya dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mempersiapkan aplikasi tersebut dan tahap kedua memperhatikan prosedur aplikasinya.
1.      Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model discovery Learning
Dalam rangka mengaplikasikan metode dicovery learning di dalam kelas, seorang guru bidang studi harus melakukan beberapa persiapan terlebih dahulu. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner (1969):
a.       Menentuka tujuan pembelajaran.
b.      Menentukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya.
c.       Memilih materi pelajaran.
d.      Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e.       Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f.       Mengatur topik-topik pelajarandari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
2.      Prosedur Aplikasi Discovery Learning
Menurut syah (2004), dalam mengaplikasikan model discovery learning di dalam kelas, tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertam-tama, pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Pada tahap ini, guru bertanya dengan mengajukan persoalan atu menyuru anak didik membaca atau mendengarkan  uraian yang memuat permasalan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi untuk belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini, Bruner memberikan stimution menggunakan teknik bertanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.
b.      Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah).
Setelah dilakukan stimulation, langkah selanjutnya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentiikas sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran. Kemudian, salah satunya diplih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah).
c.       Data Collection (Pengumpulan Data).
Ketika ekplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk menentukan benar atu tidaknya hipotesis. Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar atu tidaknya suatu hipotesis. Dengan demikian, anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collect) sebagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.
d.      Data Processing (Pengolahan Data).
Data processing merupakan kegiatan menolah data dan informasi yang telah diproleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan coding atau pengkodean/kategoisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut, siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tantang alternatif jawaban/penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e.       Verification (pentahkikan/pembuktian).
Menurut Bruner verification bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman elalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupnnya.
f.       Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi).
Tahap Generalization menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, tentu saja dengan memperhatikan hasil verifikasi. Dengan kata lain, tahap ini berdasarkan hasil verifikasi tadi anak didik belajar menarik kesimpuan atau generalisasi tertentu. Akhirnya, siswa dapat merumuskan suatu kesimpulan dengan kata-kata/tulisan tentang prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
Dengan demikian, seorang guru dalam mengaplikasikan model discovery learning harus dapat menempatkan siswa dalam kesempatan-kesempatan dalam belajar lebih mandiri. Bruner sebagaimana dikutip budiningsih (2005) mengatakan hwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang anak jumpai dalam kehidupannya.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu discovery learning merupakan sebuah model pembelajaran, karena telah memenuhi karakteristik model yang harus ada sebagai unsure pada setiap model mengajarmenurut Joyce dan Weil (1980 : 3),yaitu 1) orientation to the model (orientasi model); 2) the model of teaching (model mengajar); 3) application(penerapan); dan 4)instructional and nurturant effect (dampak intruksional dan penyerta).Dalammengaplikasikan model discovery learning di dalam kelas ada beberpa tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar supaya proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa saran agar menggunakan modeldiscovery learning karena model pembelajaran discovery learning sangat sesuai dengan tuntutan yang ada pada kurikulum 2013  yaitu mengutamakan keefektifan, variatif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran. Agar hasil belajar maksimal dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Penggunaan model yang sesuai dengan materi pembelajaran dapat metingkatkan pembelajaran agar dapat lebih aktif dan supaya serta dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Daftar Pustaka

MATERI PELATIHAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013. (2014). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Cahyo, A. N. (2013). Panduan AplikasiTeori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan terpopuler. Jogjakarta: DIVA Press.
Penerapan model discovery learning sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis teks cerita petualangan siswa kelas iv sekolah. [online]. tersedia: http.ejournal.unesa.ac.idindex.phpjurnal-penelitian-pgsdarticleview1066013922. 22-02-2016.
Model pembelajaran penemuan. 2013. [online]. Tersedia: https://docs.google.com/document/d/1lY3rKYKB785ddheIO8PzspODRmSpECOnXLnbC1e3VGo/edit?pli=1. 29-02-2016.




















SKENARIO PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING

Satuan Pendidikan      : SDN Serang 2
Kelas / semester          : IV / 1
Mata Pelajaran            : Bahasa Indonesia
Tema/Sub Tema          : Pahlawanku/Pahlawanku Kebanggaanku/2
Materi                          : Pahlawan Diponogoro         
Alokasi waktu             : 1 x 70 menit
A.    Kompetensi Dasar:
3.1  Menggali informasi dari teks laporan hasil pengamatan tentang gaya, gerak, energi panas, bunyi, dan cahaya dengan bantuan guru dan teman dalam bahasa indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baru.
4.1  Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan hasil pengamatan tentang gaya, gerak, energi panas, bunyi dan cahaya dengan bahasa indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baru.
Indikator:
3.1Menuliskan pikiran pokok dari paragraf yang dibaca
4.1Menceritakan kembali berdasarkan pikiran pokok yang dibuat

B.     Tujuan Pembelajaran
1.      Setelah membaca teks, siswa mampu menuliskan pikiran pokok dari tiap paragraf  yang dibaca dengan benar.
2.      Setelah membaca teks, siswa mampu menuliskan kembali teks “asam jawa” dengan runtut.




C.     Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan
Deskripsi Kegiatan
Alokasi
Waktu
Pendahuluan

1.   Membuka pelajaran dengan menyapa peserta didik dan menanyakan kabar mereka.
2.   Mengajak semua siswa berdo’a menurut agama dan keyakinan masing-masing.
3.   Melakukan apersepsi sebagai awal komunikasi guru sebelum melaksanakan pembelajaran inti.
4.   Memberi motivasi kepada peserta didik agar semangat dalam mengikuti pembelajaran yang akan dilaksanakan.
5.   Peserta didik mendengarkan penjelasan dari guru  kegiatan yang akan dilakukan hari ini dan apa tujuan yang akan dicapai dari kegiatan tersebut dengan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami.   

Inti
1.      Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Guru memberikan
rangsangan kepada siswa dengan mengingat kembali tentang pahlawan nasional. kemudian, guru membagikan selembar kertas kepada semua siswa mengenai gambar pangeran diponegoro dan  membaca teks dibuku siswa.
2.      Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Guru bertanya
kepada siswa mengenai gambar pangeran diponegoro dan memberikan kesempatan  siswa untuk bertanya. Siswa menulis hal-hal yang ingin ditanyakan mengenai gambar tersebut.
3.      Data Collection (Pengumpulan Data)
Setelah
siswa menulis pertanyaan kemudian siswa mencari informasi lain dengan berdiskusi dengan teman lainnya. Setelah berdiskusi, siswa menulis pokok pikiran dari paragraf yang dibacanya.
4.      Verification (pembuktian)
pada
tahap ini, siswa mendiskusikan dan menyimpulkan hasil analisis gambar.
5.      Generalization (Menarik Kesimpulan)
pada
tahap ini siswa menyimpulkan atau mengkomunikasikan hasil analisis gambar kepada guru dan teman-temannya didepan kelas. Guru dan teman lainnya memberi tanggapan atau komentar.

Penutup
1.      Guru dan sisw amenyimpulkan pembelajaran mengenai gambar pangeran diponegoro.
2.      Siswa melakukan refleksi terhadap apa yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung
3.      Guru dan siswa merencanakan pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya
4.      Guru dan siswa menutup pembelajaran dengan berdoa.




0 Response to "CONTOH ARTIKEL MEDEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING "